Tag Archives: pandawa dadu

Mahabharata 22 : Semua Dipertaruhkan dalam Permainan Dadu


Drupadi pandawa dadu

Maka pergilah Widura ke Indraprastha. Sampai di sana, ia disambut oleh Yudhistira. Raja muda itu bertanya dengan perasaan prihatin, “Mengapa engkau tidak gembira? Apakah keluarga kita di Hastinapura sehat-sehat? Apakah Baginda Raja dan putra-putranya sehat-sehat?”

Setelah saling menyampaikan salam penghormatan, Widura menjelaskan maksud kedatangannya. “Semua kerabat kita di Hastinapura sehat. Bagaimana di sini? Apakah semuanya sehat? Aku datang karena diutus mengundangmu atas nama Raja Dritarastra. Datanglah ke Hastinapura dan lihatlah bangunan-bangunan yang telah disiapkan untuk beristirahat.

“Sebuah balairung indah telah didirikan seperti yang engkau bangun di sini. Baginda Raja mengundang kau dan adik-adikmu untuk beristirahat dan bermain dadu di sana.”

Yudhistira tidak langsung menerima undangan itu. Ia ingin mendengar nasihat Widura tentang undangan itu. Katanya, “Bermain dadu sambil bertaruh selalu menimbulkan pertengkaran di antara kaum kesatria. Orang yang bijak pasti akan menghindari hal itu. Kami selalu patuh pada nasihatmu. Apa yang sebaiknya kami lakukan?”

Widura menjawab, “Setiap orang tahu, bermain dadu adalah pangkal semua kejahatan. Aku telah berusaha menentang rencana buruk ini! Tetapi Baginda Raja memerintahkan aku mengundang engkau. Terserah kepadamu, lakukanlah apa yang menurutmu baik.”

Walaupun telah mendengar peringatan halus Widura, Yudhistira tetap saja berniat pergi ke Hastinapura.

Memang sulit menghindari nasib manusia yang dengan sengaja melangkah menuju kehancurannya sendiri karena didorong nafsu berahi, kegemaran berjudi, dan kebiasaan minum-minum. Lagi pula, sesungguhnya Yudhistira memang gemar berjudi. Menurut tradisi jaman itu, seorang kesatria dianggap tidak sopan jika menolak undangan bermain dadu.

Kecuali itu, Yudhistira telah bersumpah untuk tidak pernah melakukan tindakan yang dapat membuat orang lain tidak senang atau marah. Karena itu, sungguh tidak pantas jika ia menolak undangan pamannya sendiri, Raja Dritarastra. Itu sebabnya ia menerima undangan tersebut dan berangkat bersama saudara-saudaranya diiringkan sepasukan pengawal.

Yudhistira dan rombongannya diterima Dritarastra di Hastinapura dan dipersilakan menginap di balai peristirahatan khusus untuk tamu. Setelah cukup beristirahat, esok harinya mereka diantar ke ruang permainan dadu. Setelah saling bertegur sapa sesuai adat, Sakuni mengumumkan bahwa permadani, meja dan kain beludu penutupnya telah disiapkan secara khusus dan bahwa permainan dapat dimulai.

Yudhistira berkata, “Paduka Raja, bermain judi itu tidak baik. Bukan dengan cara kesatria, kepandaian, dan kebijaksanaan seseorang menang dalam permainan adu nasib seperti ini. Resi Asita, para dewata dan dan para resi yang mengenal inti hakikat kehidupan secara mendalam telah menasihatkan, bahwa permainan judi harus dihindari, karena permainan ini bisa membuat orang ingin berbohong dan menipu. Mereka juga menyatakan bahwa kekalahan dan kemenangan dalam pertempuran adalah jalan yang paling pantas bagi kesatria. Paduka Tuanku sudah tentu bukannya tidak menyadari hal ini.” Continue reading Mahabharata 22 : Semua Dipertaruhkan dalam Permainan Dadu

Mahabharata 21 : Undangan Bermain Dadu


Shakuni_is_master_of_Dice_Game

Duryodana berpura-pura menyembah Yudistira

Upacara rajasuya selesai. Para raja, putra mahkota, pendita, penasihat, guru dan para tamu agung lainnya meninggalkan Indraprastha.

Setelah para tamu pergi, Dharmaputra menyembah Bhagawan Wyasa dan disuruh duduk di sampingnya. Mahaguru itu berkata kepadanya,

“Wahai, putra Dewi Kunti, engkau kini bergelar Maharajadiraja. Sungguh gelar yang pantas sekali bagimu. Kudoakan, semoga bangsa Kuru yang masyhur ini mencapai kemuliaannya melalui engkau. Sekarang, aku akan kembali ke pertapaanku.”

Yudhistira menyembah kaki mahaguru itu sambil berkata,

“Wahai, Guru, hanya Gurulah yang dapat menghapus kecemasanku. Banyak peristiwa penting baru saja terjadi. Hanya orang bijaksana yang dapat meramalkan malapetaka apa yang akan terjadi karena peristiwa-peristiwa itu. Apakah menurut ramalan Guru, hal itu tercermin dalam kematian Sisupala? Atau … apakah ada kemungkinan yang lebih mengerikan di masa datang?”

Bhagawan Wyasa menjawab, “Anakku tercinta, engkau akan mengalami banyak kesusahan dan penderitaan selama empat belas tahun mendatang. Peristiwa teramat penting yang baru saja berlalu tadi meramalkan kehancuran kaum kesatria dan itu tidak berhenti pada kematian Sisupala. Jauh lebih mengerikan daripada itu! Ratusan raja akan tewas dalam perang besar. Alur kehidupan lama akan hancur. Malapetaka akan timbul karena permusuhan antara kau dan adik-adikmu di satu pihak dan sepupumu, putra-putra Dritarastra, di lain pihak. Permusuhan itu akan memuncak dalam satu perang besar yang memusnahkan kaum kesatria. Tak seorang pun bisa melawan atau menghindari suratan nasibnya. Teguhkan hatimu dan tegakkan keluhuran budimu. Waspadalah dan perintahlah rakyatmu dengan bijaksana. Selamat tinggal!”

Setelah memberikan restu kepada Yudhistira, Bhagawan Wyasa meninggalkan Indraprastha.

Ramalan Bhagawan Wyasa membuat Yudhistira sedih dan merasa jijik terhadap nafsu-nafsu duniawi. Ia menyampaikan ramalan itu kepada adik-adiknya. Ia merasa hidupnya sia-sia karena kepunahan bangsanya sudah diramalkan.

Arjuna berkata, “Engkau seorang raja. Tak pantas kau mempercayai hasutan dan ancaman seperti itu. Kita hadapi nasib kita dengan penuh keberanian dan kita lakukan tugas kita sebaik-baiknya.”

Yudhistira menjawab, “Saudara-saudaraku, semoga iman kita diteguhkan oleh Yang Kuasa dan semoga Yang Kuasa selalu melindungi kita. Aku bersumpah, aku tidak akan bicara lemah dan kasar kepada saudara-saudara dan sanak kerabatku selama tiga belas tahun. Aku akan menghindari segala hal yang mungkin menimbulkan sengketa. Aku tidak akan pernah marah, sebab kemarahan adalah pangkal permusuhan. Semoga kita diberi jalan terbaik setelah mengetahui peringatan dari Bhagawan Wyasa.” Continue reading Mahabharata 21 : Undangan Bermain Dadu

Wawancara eksklusif bersama Arjuna (22)


Pandawa main dadu

“Gong …. Bagong !
“Gong …. Bagong … Baaa Gooong !!!!’
“Heh sssssapi … hoh gatoooot … hih …. cenil sawut grontol tiwul …. weh wonten napa nDara. Ngageti mawon !!!

“Halah …. kowe kuwi dicritani ngeciprus nganti entek ababku, lha kok malah tidur seolah suaraku engkau anggap laksana untaian tembang penghantar tidur saja. Piye tho kamu ini Gong !!!

“Oh nggih …. walah tiwul … eh nyuwun ngapunten nDara, mohon maaf, taksih belum fokus pikiran saya nDara. Rasanya di tikar tadi banyak makanan jajan pasar terhidangkan, ada tiwul, gatot, sawut, cenil de el el. Sekarang kok sudah nggak ada tho nDara. Di makan nDara semuanya ya ?”

“Hush … trembelane kuwi ! Kamu tuh tadi tidur trus ngimpi Gong !”
“Kula tilem tho nDara ?”

“Lha iya gitu kok”
“Nggak terasa je nDara. Rasanya tadi saya sedang makan, tahu tahu kok makanannya habis semua.”

“Dasar kamu … lha wong ngimpi kok kontennya soal makan melulu. Sekali sekali lha mbok mimpi yang lain, semisal mimpi di datangi kekasih hatimu gitu”
“Lha wong kekasih hatiku sudah mati je nDara. Lha kalau didatangi dia, malah jadi takut no saya nDara, takut dijemput tho”

“Ya sudah … sudah melek lagi tho kamu Gong. Terus mau apa lagi nih Gong”
“Yo lanjut no nDara !!!”

“Tapi jangan ngorok lagi lho”
“Siap ndara, kula pesen bajigur rumiyin nggih”

<<< ooo >>>

“Pamadi, kemarilah mendekat kepada uwakmu.” Setelah kembali suasana tertata, dengan sabar Prabu Salya kembali berkata. Continue reading Wawancara eksklusif bersama Arjuna (22)

Mahabarata, Partawiraya [9]


Ingkang kasukan sami taksih lêstantun, Yudhisthira angêtohakên sadaya kêkantunaning rajabrananipun, ngantos tanpa petangan, ewadene mêksa kawon malih. Sadaya raja darbèkipun Yudhisthira, kados ta: kawulanipun, nayakanipun, tuwin kaprabonipun sampun botên wontên ingkang kantun, punapa malih gadhahanipun ingkang kenging katotohakên, môngka bêntèring tiyang kawon ngabotohan tansah angrubeda, amung supêkêting kêkadangan ingkang dèrèng risak, dados Yudhisthira dèrèng katêlasan babar pisan. Kadospundi wicantênipun ingkang kalair ing lathinipun ingkang pucêt: samêngko Si Nangkula kang linuwih karosane, sarta kêndêl, iku uga darbèkku.

Wêkasan lajêng kamirêng malih bêngokipun Sangkuni, samêngko Nangkula uga wus dadi wongku. Supêkêting pasadhèrèkan ingkang sukci punika sampun risak, botên watawis dangu ugi lajêng bibar, amargi Sahadewa lajêng katohakên, punapadene Arjuna, guruning jêmparing, sarta Bima ingkang pilih tandhing, ananging ugi kawon. Sangkuni wicantên sêmu angerang-erang, punapa taksih kagungan punapa-punapa ingkang kenging kangge totohan, ing ngriku Yudhisthira lajêng angêtohakên sariranipun, nanging ugi kawon malih. Dados sakadang warga sadaya botên amung sangêt kasarakat kemawon, ananging ugi kawirangan, amargi satriya ngantos kalampahan dados tiyang tumbasaning mêngsahipun, têtela bilih asoripun sampun tanpa upami, dhawahipun sampun botên sagêd tangi malih: punapa ta kasangsaran sanèsipun ingkang badhe dhumawah malih.

Salêbêtipun sadaya sami kèndêl, ing ngriku kamirêng suwaranipun Sangkuni ingkang sakeca kêdaling pamicaranipun. O: Prabu Yudhisthira, taksih wontên sanèsipun, ingkang dèrèng jêngandika kawonakên, inggih punika: Drupadi, putri ing Pancala, dununging katrêsnan andika, suwawi katotohna, kangge sarana luwaring jêngandika. Amargi sangking pangerang-erang, narendra ingkang santosa wau, lajêng èngêt dhatêng gênging kasangsaran, ingkang tuwuh saking kobongipun tiyang kawon ngabotohan, cipta kados punapa ingkang makarti ing dêmakipun manawi mirêng namining katrêsnanipun kaungêlakên dening tukang begal.

Krêsna (Dèwi Drupadi) dununging katrêsnan, Krêsna ingkang sihipun dhatêng sariranipun kalayan sêtya tuhu. Krêsna ingkang linangkung kawicaksananipun, kalampahan sagêd mangrèh ing salêbêting dhatulayanipun, Krêsna mêmanik ingkang dumunung ing têlênging batos, sarta ibuning sutanipun jalêr misuwur tuwin luhur bangsanipun, ngantos kalampahan dipun totohakên. Kamirêngna panglinggamurdanipun ingkang kawêdhar wontên ing lathinipun Yudhisthira katingal gumêtêr: mêsthine iya kalah manèh dening dhèwèke, ananging iku wus ora beda karo panggawene, para satriya apadene ratu, yèn umangsah prang, mêsthi kongsi sapatine. Continue reading Mahabarata, Partawiraya [9]

Mahabarata, Partawiraya [8]


Kalampahanipun Prabu Sangkuni ingkang julig punika matur makatên, amung saking wêlasipun dhatêng putra kapenakan, Gandara lajêng marêk ing ngarsanipun Prabu Dritarastra, angaturakên ngênêsing manahipun Duryudana. Sang prabu lajêng animbali Duryudana, pangandikanipun, supados Duryudana sampun anglajêngakên sêdyanipun ingkang kirang prayogi wau. Ananging Duryudana ingkang sangêt wangkalipun sampun botên keguh, atur wangsulanipun, bilih piyambakipun rumaos kasoran kasugihan tuwin kaluhuranipun, môngka Sangkuni mrayogèkakên, raja darbèking Pandhawa sagêdipun ngawonakên sarana ngabotohan. Prabu Drêtarastra botên sagêd angidèni panyuwunipun Duryudana, sadèrèngipun atêtarosan rumiyin kalihan Widura, mila lajêng utusan animbali kang rayi.

Aturipun Duryudana: manawi kang rama botên amarêngakên, piyambakipun badhe anganyut tuwuh, sarta lajêng pratela: manawi kula sampun pêjah, sang prabu, paduka badhe mukti kalihan paman Widura. Sarêng Widura dhatêng Prabu Dritarastra dhawuh, manawi karsanipun badhe angintunakên panantang, dene ingkang piniji kautus dhatêng Pandhawa Widura. Widura kalayan risaking manahipun nêdya pamitan dhatêng Bisma. Ing nalika punika Prabu Dritarastra angarih-arih ingkang putra malih, supados anyandèkna pikajêngipun. Nanging Duryudana puguh, matur kados punapa kasugihanipun tuwin luhuripun Pandhawa, mila piyambakipun sangêt kapengin dhatêng sadaya isèn-isèning kadhaton ingkang sakalangkung anèh punika.

Pangandikanipun kang rama: o, gèr, aja amèrèkake Pandhawa, marga sing sapa mèrèn iku salawas-lawase ora tau bêgja, lan tansah sangsara kaya wong kang kalah prang. Adhuh putraningsun, melik marang darbèking liyan iku watak asor, kosok baline: sing sapa kang narima sadarbèke dhewe, iku nugraha. Sanadyan kang rama sangêt mambêngi, amargi kagalih kirang prayogi kadadosanipun, ewadene Duryudana lêstantun kêncêng pangangkahipun, minôngka lintuning rinêbat prang, inggih punika rinêbat sarana dhadhu. Continue reading Mahabarata, Partawiraya [8]

KNS : Pandawa Dadu


Sesaji Rajasurya yang dilakukan oleh Yudistira dan adik-adiknya Pandawa, menyisakan rasa iri dan sakit hati Duryudana yang juga diundang menghadirinya. Betapa dilihatnya bagaimana begitu megah dan mewahnya istana Indraprasta. Betapa iri hatinya manakala disaksikannya bahwa negri yang baru seumur jagung tadi, apalagi bila dibandingkan dengan Hastinapura, sudah mampu menyelenggarakan sesaji itu. Berarti apa ? Bahwa pandawa telah diakui oleh negri-negri lainnya sebagai kerajaan besar yang dipimpin oleh raja besar.

Betapa masih terbayang rasa malu Duryudana saat dia tercebur di kolam dalam istana yang disangkanya adalah lantai kemilau. Matanya begitu silau akan kemilau istana adiknya itu. Namun hatinya tertutup mendung kedengkian.

Hatinya kembali bertekad untuk menjerumuskan kembali Pandawa dalam jurang kenistaan. Tidak rela dirinya semasa menyaksikan Pandawa hidup dalam kegembiraan dan kemulyaan.

Lalu upaya apalagi yang dilakukan Duryudana untuk mewujudkan niat jahat itu.

Solusinya selalu ada dipikiran cerdik namun kotor Sengkuni.

Selamat Menikmati

 

Update terakhir new upload : 29032014

http://www.4shared.com/folder/ht420rWn/133.html

Jumlah File : 16 File